Sebelum Amay tidur tadi, kami
terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami
bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi
tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.
Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi.
Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar.
Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."
Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)
"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh...
~~~
Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi
juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami
tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.
Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay
bertanya,
Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa
nangis?”
Saya: “Karena Satsuki takut kalau
nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah
menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir
ibunya). “Kalau nanti Mama meninggal,
Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.
Amay: “Takut. Mama jangan
meninggal dulu.”
Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan
meninggalnya...”
Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah
besar, Mas Amay juga meninggal?”
-Sampai disini, jujur saya
gemetar-
Saya: “Meninggal itu nggak harus
menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau
diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan
di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena
kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus
sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga
nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla
bla...
-Sesungguhnya
saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-
Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil
mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”
Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus
kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik
salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka
lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”
Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali,
di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”
Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu
tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa
diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”
Amay: “Lha kenapa?”
Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah
ingat-ingat berapa tabungan kita.”
-Duh Mas, Mama
aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan
berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak
cukup untuk sekedar membayar dosa-
Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”
Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay
jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”
Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.