Akhirnya, kami harus mengucapkan kepada diri kami sendiri; Selamat datang ke dunia Parent-Teen! Selama ini kami hanya mendengar dari sana-sini bahwa mengasuh remaja itu penuh dengan tantangan. Banyak drama. Dan kini kami merasakannya juga. Pfft.
Saat ini Mas Amay berumur 10 menuju 11 tahun. Usia ini digolongkan ke dalam usia pra-remaja, yakni peralihan dari masa anak-anak menuju tahapan sebelum dewasa. Di usia ini, banyak perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis, karena pengaruh hormon.
Secara fisik, perubahan itu bisa terlihat dari perubahan bentuk tubuh, suara, dll. Nah, yang biasanya menimbulkan konflik antara orang tua dan anak adalah karena perubahan pada psikis.
Kenapa?
Karena di usia ini, orang tua masih menganggap bahwa anaknya masih kecil, belum bisa membuat keputusan, dan masih harus diarahkan. Sementara itu, sang anak merasa bahwa ia bukan anak kecil lagi, ia merasa berhak membuat keputusan sendiri, dan juga ingin diakui sebagai orang dewasa.
Jujur, bagian ini lumayan bikin nyesek, Ma... Meski sedikit-sedikit sudah paham kisi-kisinya, tapi saat harus "praktik", nyatanya ini bikin kami shock juga.
Sebenarnya sudah sejak tahun lalu Mas Amay menunjukkan beberapa perubahan. Ia sering mengatakan, "Mas Amay kan bukan anak kecil lagi."
Lain waktu dia bertanya, "Kapan ya suaranya Mas Amay berubah? Mas Amay males dianggap bocil terus gara-gara suara Mas Amay kecil."
Well, peer pressure is real. Padahal teman-temannya juga banyak yang suaranya belum berubah lho... Atau jangan-jangan di circle pertemanan Mas Amay, goals mereka saat ini adalah punya suara yang lebih berat?
Yang membuat Mama Kepiting akhirnya terpikir untuk menulis ini adalah, karena di tahun 2022 yang baru memasuki bulan Februari ini, Mas Amay sudah "marah-marah" sebanyak dua kali. Marahnya ini sambil menangis dan teriak-teriak.
Usia Pra-Remaja Itu, Emosinya Sangat Labil, Mood-nya Bisa Berubah Sangat Cepat
Kejadian pertama adalah di bulan Januari. Saat itu kucing betina kami sedang di masa birahi. Jujur ini adalah pengalaman pertama bagi kami, karena kucing kami yang dulu berjenis kelamin jantan.
Baca: Akhirnya Mayo Jumpa Betina
Karena merupakan pengalaman perdana, kami jadi mudah panik. Suami jadi stres karena ada 3 kucing jantan yang bergantian datang ke rumah. Udah gitu ngga cuma ngawinin kucing kami, tapi kucing-kucing itu juga numpang makan dan pup. Sebel kan?
Nah, di hari ketiga birahi, suami sudah sangat lelah. Ditambah lagi beliau WFH dan ada banyak deadline yang harus selesai sebelum kami ke Jogja untuk menghadiri acara keluarga. Mendengar kucing jantan udah meang-meong di depan memanggil kucing kami, suami langsung mengusirnya.
Mas Amay salah tangkap. Ia mengira, papanya marah pada kucing kami. Mulai deh itu drama.
"Papa nggak punya hati!" teriaknya sambil menangis. "Kalau Papa menyakiti Mayo (kucing betina ini juga kami beri nama Mayo), sama aja Papa menyakiti Mas Amay!"
"Lho, siapa yang menyakiti?" Papanya bingung dong...
Rupanya telah terjadi kesalahpahaman. Susah memang berhadapan sama orang yang lagi bucin-bucinnya sama sesuatu, termasuk kucing. Alhamdulillah, kesalahpahaman itu terurai setelah perdebatan diskusi yang cukup lama. Nyaris 1,5 jam lho. Fyuuuh...
Di Usia Pra-Remaja, Keinginan untuk Memberontak dan Menolak Aturan Mulai Muncul
Kesalahpahaman kedua, terjadi dua minggu lalu. Ba'da ashar, Mas Amay berniat mengerjakan PR-nya. Posisi saya saat itu sedang menemani Adek Aga mengerjakan tugasnya juga. Saat mengerjakan PR itu, Mas Amay bolak-balik bertanya, jawabannya apa.
Berkaca dari pengalaman hari sebelumnya, yaitu ketika Mas Amay keliru menjawab soal Bahasa Indonesia karena tidak teliti membaca teks, saya pun berkata, "Coba dibaca yang teliti. Pasti ada jawabannya di teks."
Amay menjawab, "Nggak ada lho, Ma, Mas Amay udah baca berkali-kali."
"Kalau Mama baca dan ketemu jawabannya, gimana? Mas Amay kebiasaan kok, suka buru-buru bacanya." kata saya. "Mama sedih lho, karena minat baca Mas Amay menurun banget dibanding waktu kecil dulu."
Saya ngomong seperti itu ke Mas Amay, lalu kembali fokus ke Adek Aga.
Tiba-tiba, hening. Mas Amay pun mulai menangis.
"Mas Amay nangis?" tanya saya.
"Mama itu udah melukai Mas Amay. Mas Amay kan udah bilang, ini jawabannya tuh nggak ada. Mas Amay udah bilang berkali-kali tapi Mama nggak percaya, malah membanding-bandingkan Mas Amay sama Mas Amay yang dulu."
Waduh, kok jadi begini, pikir saya.
Saya langsung melihat ke buku tugasnya Mas Amay. Ternyata ia benar, jawabannya memang tidak ada di teks. Saya pun mengaku bersalah dan tak ragu minta maaf padanya. Tapi Mas Amay terlanjur terluka.
Dia mengeluarkan semua keluh kesahnya tentang kami. Pertama, kami dianggap terlalu cepat menghakiminya. Dia pun tidak suka dibanding-bandingkan, meskipun itu dengan dirinya sendiri di masa lalu. Lama-lama, keluh kesahnya jadi beraneka warna, membuat kami bercermin, sudah jadi orang tua seperti apa kami selama ini. Meski memang, untuk beberapa hal, kami punya alasan tertentu dan saat itu pula kami langsung memberikan penjelasan padanya.
Contohnya ketika Mas Amay protes, kenapa kok kita harus sering pergi-pergi? Mas Amay lebih suka di rumah. (Ini tentang perjalanan bulan lalu saat kami menghadiri pernikahan salah satu anggota keluarga di Jogja sana. Rupanya dia nggak suka diajak ke acara seperti itu)
Tentu kami harus menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain lagi. Ketika kami harus ke Jogja, otomatis Mas Amay harus ikut, karena nggak mungkin kan kami meninggalkannya sendiri di Solo?
Protesnya semakin panjang. Katanya, kenapa kalau ada tamu, Mas Amay harus stand by nemenin di luar (ruang keluarga yang sekaligus jadi ruang tamu), dan nggak boleh diam di kamar? Kami pun menjelaskan, jika tamunya merupakan orang dekat (sepupu misalnya, atau teman yang anaknya seumuran dengan Mas Amay), tentu akan lebih sopan kalau Mas Amay ikut membaur. Meski begitu, sekarang kami memberi keleluasaan untuknya. Setelah ramah tamah (salim / jabat tangan), kalau Mas Amay kurang nyaman dan ingin masuk kamar, kami tidak akan melarang. Deal.
Papanya pun menambahkan. "Papa sekarang sudah paham, kayaknya Mas Amay termasuk anak yang introvert, karena Mas Amay lebih nyaman ketika sendirian. Tapi Mas Amay tau nggak? Yang introvert bukan cuma Mas Amay lho. Papa sama Mama juga. Cuma, meski kita lebih senang sendirian, kita nggak boleh lupa untuk bersosialisasi. Dan pesan Papa, meskipun Mas Amay introvert, Mas Amay harus tetap punya attitude yang baik, ngga boleh semaunya sendiri."
*
Beuh, panjang banget ya, Ma...
Sebenarnya masih ada banyak bahasan lain, tapi nanti jadi panjang banget tulisannya. Wkwkwk...
Nah, setelah kejadian kedua itu, saya dan suami pun terlibat obrolan yang cukup dalam. Betapa Mas Amay saat ini sudah bukan anak kecil yang polos seperti dulu lagi. Pola pikirnya pelan-pelan berubah, pun dengan gaya bicara dan perilakunya. Maka kami pun harus mulai belajar untuk menjadi orang tua yang baik bagi sulung kami ini.
Sejak itu, saya mulai membaca beberapa literatur tentang karakter anak usia pra-remaja dan bagaimana cara terbaik untuk menyikapinya sebagai orang tua.
Ternyata benar, seorang anak yang telah memasuki usia pra-remaja, akan menunjukkan beberapa perubahan perilaku, seperti:
- Emosi yang sangat labil
- Perubahan mood yang sangat cepat
- Mulai menarik diri
- Interaksi dengan orang tua mulai berkurang
- Munculnya keinginan untuk memberontak
- Mulai mencoba keluar dari batasan-batasan yang selama ini ditetapkan orang tua
Memang perubahan-perubahan ini cukup bikin gemes, Ma... Tapi kita kan ngga boleh jadi orang tua yang otoriter, karena khawatirnya, anak malah akan tumbuh jadi seorang yang pendendam dan berhati dingin.
Lalu, apa saja yang sebaiknya dilakukan para orang tua ketika anaknya memasuki usia pra-remaja dan menunjukkan beberapa perubahan perilaku seperti di atas?
1. Jangan merasa tersisih
Perubahan seperti ini tuh wajar, dan nggak hanya terjadi pada anak kita doang, Ma... Jadi, ketika anak memiliki "dunia baru" yang mereka anggap lebih seru dan lebih penting dibanding keberadaan orang tuanya, jangan sedih dulu. Jangan merasa tersisih, dan tetap jalin komunikasi yang baik dengan anak-anak. Kelak mereka akan sadar dengan sendirinya bahwa keluarga adalah segalanya. Memang ia sedang di masa seperti ini, jadi pantau dari jauh aja. 😊
2. Luangkan waktu khusus untuknya
Walaupun anak kita sudah semakin besar dan terlihat tidak membutuhkan kita lagi, tapi penting untuk tetap meluangkan waktu bersama, Ma... Saat-saat berkumpul bersama adalah sesuatu yang akan mereka kenang hingga nanti.
3. Dengarkan dan hargai pendapatnya
Kemarin ketika Mas Amay mengungkapkan ketidaknyamanannya saat pergi-pergi dan saat ada tamu, kami berdua mempraktikkan ini. Kami mendengarkan dan menghargai pendapatnya, tetapi sambil menyisipkan nilai-nilai yang kami pegang.
4. Beri ia lebih banyak kebebasan
Kita semua membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Anak-anak pun sama. Ia memiliki hak untuk tidak memberi tahu orang tua, segala sesuatu tentang kehidupannya. Kesannya kok jadi nggak terbuka sama orang tua ya? Iya memang, tapi, kita harus belajar untuk menghargai privasi anak. Kalau masih susah, inget-inget lagi, Ma, dulu waktu kita remaja juga seperti itu, kan?
5. Jangan terlalu menghakimi
Jangan buru-buru menghakimi atau mengkritik perilaku anak, karena alih-alih akan paham, anak justru akan semakin memberontak.
6. Jangan bereaksi berlebihan
Jujur, poin 5 dan 6 ini sering luput saya lakukan. Saya masih harus belajar untuk tenang dan tidak overreact pada apapun.
7. Beri ia kepercayaan untuk membuat keputusan
Memang sulit untuk mulai memberi kepercayaan pada anak ya, Ma... Rasanya pengen banget untuk kasih saran ini anu ono. Namun, jika sebelumnya sudah terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, jalan tengah akan lebih mudah didapat. Kita boleh kok memberikan alternatif solusi, dan selebihnya, biarkan anak memutuskan sendiri jalan yang akan dipilih. Yang pasti, ingatkan ia untuk bertanggung jawab atas pilihan yang ia ambil.
8. Tanamkan ajaran agama pada anak
Poin terakhir, tapi sejatinya merupakan yang pertama dan yang utama, yaitu penanaman nilai-nilai agama. Ketika nilai-nilai agama sudah melekat dalam keseharian anak, insya Allah segala sesuatunya akan lebih mudah. Namun tentu, jika kita menginginkan anak yang baik, maka kita pun harus bisa menjadi teladan yang baik pula.
Menjadi orang tua memang tidak selalu mudah ya, Ma... Namun, konflik dengan anak usia pra-remaja juga tidak selalu menjadi hal yang buruk kok. Justru di sinilah awal mula anak kita belajar untuk lebih mandiri, mengemukakan pendapat, mempertahankan pendirian, hingga mencari jati diri. Dan yang anak-anak butuhkan di masa ini bukanlah perlawanan, melainkan pendampingan. Bismillah, semoga kita selalu dibimbing-Nya ya, Ma... ☺️
Ditulis dengan Cinta,
Mama