Di sebuah belantara laut,
tinggallah seekor gurita berwarna merah bernama Paman Octo. Di mata Ubit si
ikan badut dan kawan-kawannya, Paman Octo terkenal galak dan tak ramah.
Karenanya, mereka takut untuk menyapa apabila bertemu dengannya. Saat pulang sekolah
pun, mereka sengaja mengambil jalan lain, asalkan tidak melewati rumahnya. Pernah suatu hari Ubit dan kawan-kawan dimarahi oleh Paman Octo ketika
bermain di halaman rumahnya.
“Pergi kalian! Jangan main
di depan rumahku! Kalian hanya bisa mengotori halamanku saja.” Teriakan Paman
Octo saat itu terngiang-ngiang di benak Ubit.
Suatu hari, Ubit dan
kawan-kawan diminta Pak Guru untuk mengantar surat kepada Paman Octo. “Ubit, tolong antarkan surat ini ke rumah Paman Octo ya. Sekolah kita
akan mengadakan kegiatan yang melibatkan Paman Octo sebagai pembimbing.”
“Baik, Pak.” Jawab Ubit. Ia membalikkan
badan ke arah kawan-kawannya dengan lunglai, bingung harus bagaimana. Biasanya
ia melakukan perintah Pak Guru dengan senang hati, tapi kali ini berbeda. Ia
tak mungkin membantah perintah itu, tapi tak mungkin juga menemui Paman Octo di
rumahnya. Ia takut kena marah lagi.
Mereka pun berunding. Mika
si ikan kakap berpendapat, “Sudah, kita hadapi saja. Kalau Paman Octo marah
kita langsung kabur.” Ubit dan yang lainnya mengangguk.
“Tapi lebih bagus lagi kalau
kita meminta maaf terlebih dulu atas kejadian beberapa waktu yang lalu itu.”
Sahut Tina si ikan tuna.
“Loh, kenapa kita yang minta
maaf duluan? Kan belum tentu kita yang salah.” Mika ini agak ngeyel rupanya.
“Siapa tahu kita memang
salah, tapi kita tidak tahu letak kesalahan kita dimana.” Tina kembali
menjelaskan.
“Oke deh kalau begitu.” Mika
akhirnya setuju.
“Kalau begitu, ayo kita ke
rumah Paman Octo sekarang!” ajak Ubit.
Tok tok
tok… Ubit mengetuk pintu perlahan.
Tok
tok tok… Diulanginya lagi untuk kedua kali. Sesaat kemudian
terdengar suara dari dalam.
“Siapa?” Tanya suara itu. Ubit gemetar. Suara
itu adalah suara Paman Octo.
“S s s saya Ubit, Paman. Mau
mengantar surat dari Pak Guru.”
Paman Ubit membuka pintunya
lalu menyilakan Ubit dan kawan-kawannya masuk. Ubit segera menyerahkan surat
yang ia maksud. “Ini Paman, titipan dari Pak Guru.” Paman Octo membukanya. “Kata
beliau, Paman Octo akan menjadi pembimbing di kegiatan sekolah, betulkah itu?”
Tanya Ubit memberanikan diri.
Paman Octo memandang ke
arahnya, diam. Beliau menyamankan posisi duduknya lalu menjawab, “Iya. Kemarin Pak
Guru sudah menemui Paman dan membicaraan hal ini.”
“Oya Paman, sebelumnya kami
ingin meminta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu ketika kami bermain di
halaman rumah Paman.” Ucap Tina. Ia memang bisa diandalkan untuk urusan ini. Sikapnya yang santun membuat Paman Octo tak terlihat galak lagi.
“Iya, Paman maafkan. Ini
juga yang nanti akan Paman sampaikan di sekolah kalian.” Paman Octo berlalu
mengambil sebuah kantong plastik. Ubit dan kawan-kawannya penasaran tentang isi
kantong itu.
“Kalian tahu tidak mengapa
saat itu Paman marah pada kalian?” Semua menggeleng. Paman Octo mulai
mengeluarkan semua isi kantong plastik itu, dan itu membuat mereka tercengang.
“Ahhh.. Iya Paman. Kami
sekarang sudah tahu letak kesalahan kami.” Ujar Mika sambil menepuk jidatnya.
Paman Octo tersenyum.
“Kalian tahu? Setiap hari Paman memunguti sampah-sampah ini. Paman membaginya
menjadi dua jenis. Sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik paman
taruh di sebuah wadah untuk dijadikan makanan bagi teman-teman kecil kita yang
lainnya, contohnya udang. Sampah anorganik seperti kaleng minuman ini Paman
olah lagi menjadi sesuatu yang bermanfaat.”
“Untung ada Paman Octo ya.”
Ucap Ubit sambil berbinar.
“Tapi Paman tidak bisa
sendirian. Paman membutuhkan bantuan dari kalian. Kalian lihat, sampah semakin
hari semakin tidak terkendali jumlahnya. Ajaklah teman-temanmu untuk mencintai
laut kita, tempat hidup kita. Mintalah mereka agar tidak membuang sampah
sembarangan. Kalian tentu tidak mau meminum air yang kotor dan berbau, bukan?”
Ubit dan kawan-kawan
mengangguk setuju. “Siap Paman!” mereka serentak berteriak semangat.
“Bagus!” Paman Octo
tersenyum lebar.
“Ternyata Paman Octo tidak
seseram yang kita bayangkan ya?” Tina berseloroh. Semua tertawa.
Tibalah hari yang
dinantikan. Paman Octo datang ke sekolah dengan membawa beberapa perlengkapan.
Ubit dan kawan-kawan menyambutnya dan membantunya membawa perlengkapan itu.
Paman Octo membagi banyak
sekali ilmu dan pengetahuan yang ia punya dalam kegiatan ini. “Anak-anak, ini
adalah beberapa benda yang Paman buat dari kaleng minuman. Ada celengan, kotak
surat, tempat pensil, mobil-mobilan dan sebagainya. Jadi mulai saat ini, jangan
membuang sampah di sembarang tempat ya… Mari kita jaga laut kita agar tetap
bersih, supaya air yang kita minum juga menyehatkan tubuh kita. Setuju?”
“Setuju!!” semua murid
kompak menjawab.
Di akhir acara, Paman
Octo berterima kasih pada Ubit dan kawan-kawan yang telah membantunya. Beliau
mengangkat mereka sebagai “Prajurit Pecinta Kebersihan".